Entri Populer

Rabu, 17 Agustus 2011

"Brantas wereng yang merajalela "

SALAM,LATANSA TANI ...YEZZZPenanggulangan Wereng Batang Coklat: Mampukah Kita Belajar dari Sejarah? PDF Cetak Surel
Oleh Dr. Hermanu Tri Widodo, MSc, Institut Pertanian Bogor  dan Ir. Nugroho Wienarto, Yayasan FIELD
Kompas, 8 Mei 2010:  Wereng Coklat Meluas, Pemda Harus Aktif
Jakarta, Kompas, 8 Mei 2010. Serangan hama wereng batang coklat pada tanaman padi meluas, padahal sudah relatif lama petani bebas dari serangan hama ini. Oleh karena itu, pemerintah daerah diminta lebih cepat merespons setiap laporan adanya serangan agar tidak meluas.
Imbauan tersebut disampaikan Wakil Menteri Pertanian Bayu Krisnamurthi di Jakarta, Jumat (7/5). ”Petani juga harus lebih waspada dan mempelajari kembali pola penanggulangan wereng coklat melalui pendekatan pola tanam dan teknis budidaya,” ujar Bayu.
Menurut Bayu, dari aspek luasan, areal tanaman padi yang terserang wereng coklat memang tidak signifikan dibandingkan dengan total luasan areal panen padi. Pada April-Mei 2010 total luas areal panen padi mencapai 3,3 juta hektar.


Wilayah yang tanaman padinya terpapar wereng coklat adalah Subang (Jawa Barat), Jember dan Banyuwangi (Jawa Timur), serta Klaten, Jepara, Pati, dan Pekalongan (Jawa Tengah).
Menurut Bayu, ada empat faktor yang memengaruhi meluasnya wabah wereng coklat. Faktor-faktor tersebut adalah adanya perubahan iklim dan tata air yang membuat situasi pola tanam tidak menentu, pola penanaman padi tidak lagi bisa dilakukan serempak, introduksi benih padi hibrida yang tidak tahan wereng coklat, serta petani lupa cara melakukan antisipasi.

Pengantar

Kliping harian Kompas tanggal 8 Mei 2010 membuka tulisan ini, yang membahas tentang pengalaman penanggulangan wereng batang coklat (WBC) secara ekologis, yang dilakukan dalam kurun waktu tahun 1980-an hingga sekarang.  Ini dimulai dengan Instruksi Presiden No. 3 tahun 1986 tentang Pengendalian Hama Terpadu sebagai strategi nasional perlindungan tanaman, kemudian berlanjut dengan penyelenggaraan Program Nasional Pengendalian Hama Terpadu (1989-1999) yang dimulai di bawah kordinasi  BAPPENAS dan mulai tahun 1994 dilaksanakan langsung oleh Departemen Pertanian.
Imbauan dari Wakil Menteri Pertanian ini seakan-akan menunjukkan bahwa Kementerian Pertanian juga mengalami “lupa” tentang sebab-sebab klasik ledakan hama WBC di pertanaman padi dan langkah penanggulangannya.


Sejarah Serangan Wereng Batang Coklat
Bila kita mau menengok sejarah maka masalah yang dihadapi Indonesia dengan WBC adalah mirip dengan pengalaman negara-negara lain di Asia. Di Indonesia WBC mulai menjadi perhatian sejak tahun 1970 dan 1971.  Survei tentang kerusakan tanaman padi akibat penggerek di beberapa wilayah di Jawa Barat mendapatkan data bahwa para petani menggunakan insektisida, yang berakibat tidak hanya meningkatnya serangan penggerek tetapi juga jumlah populasi WBC sepuluh kali lipat dibandingkan lahan padi yang tidak disemprot pestisida (Soehardjan 1972).  Sebelum tahun tujuh puluhan WBC tidak diperhitungkan sebagai hama.  Situasi ini segera berubah. Sebagai bagian dari BIMAS Gotong Royong di akhir 1960-an dan awal 1970-an maka ratusan ribu hektar padi sawah disemprot insektisida organofosfat berspektrum luas secara masal dengan menggunakan pesawat udara.  Program ini juga menyediakan paket kredit dalam bentuk pupuk kimia dan pestisida.  Sejalan dengan pertumbuhan produksi yang meningkat maka meningkat pula serangan WBC.  Pada tahun 1975, sejalan dengan kebijakan pemerintah secara langsung menyubsidi insektisida, maka kehilangan hasil akibat dari WBC sama dengan 44% impor beras tahunan (Kenmore 1991).  Sejak 1976 Pemerintah memulai penyemprotan dari udara dengan formulasi insektisida dari jenis ultra low volume sehingga bisa menjangkau wilayah yang luas.  Hasilnya adalah pada tahun 1976/1977, WBC mengakibatkan serangan berat pada 450.000 hektar padi sawah.  Perkiraan kehilangan hasil sekitar 364.500 ton beras, suatu jumlah yang cukup untuk memberi makan 3 juta orang dalam satu tahun. (Oka 1997)

WBC menghancurkan padi sawah dibagian tengah, yang disemprot dengan insektisida. Bandingkan dengan padi di bagian atas yang tidak disemprot.

Ini bukan kejadian yang terisolasi.  Kebijakan-kebijakan perlindungan tanaman Indonesia yang mempromosikan penggunaan pestisida telah mengakibatkan dua ledakan hama di tahun 1979 dan 1986.  Thailand, Vietnam, Kamboja dan Malaysia juga mengalami ledakan hama yang mirip.  Para ahli ekologi populasi mampu mendokumentasikan proses ini (Kenmore et al. 1984; Ooi 1988; Settle et al. 1996).  WBC ditemukan berada pada tingkat populasi yang tidak berarti di lahan padi sawah intensif yang tidak disemprot insektisida karena dikendalikan oleh populasi musuh alami.  Sekalipun ada imigrasi sejumlah besar serangga WBC dewasa yang bereproduksi ke suatu lahan, maka populasi musuh alami mampu merespon dan mengakibatkan tingkat kematian WBC yang tinggi sehingga hasil panen tidak terganggu.  Penggunaan insektisida telah ditemukan menjadi penyebab terganggunya mekanisme pengendalian alami.  Tingkat hidup WBC didalam suatu sistem yang terganggu insektisida telah ditemukan meningkat lebih dari sepuluh kali lipat.  Selama satu musim tanam kepadatan populasi WBC bisa meningkat ratusan kali lipat.  Mencoba mengendalikan ledakan hama ini dengan insektisida seperti menuang minyak kedalam api.
Dengan ledakan hama WBC yang masif maka para pemulia tanaman mengembangkan varietas tanaman yang tahan kepada WBC. Strateginya adalah mengganti penggunaan insektisida dengan menanam varietas padi yang tahan WBC.  Tetapi di lapangan, penggunaan insektisida yang intensif berlangsung terus.  Penggunaan insektisida yang intensif mendorong seleksi yang cepat terhadap populasi WBC yang mampu mengatasi ketahanan varietas baru. (Gallagher 1984)  Runtuhnya varietas-varietas yang baru ini secara cepat berarti dana dan waktu yang diinvestasikan dalam pengembangannya telah terbuang sia-sia.
Apa yang terjadi?  Ini menunjukkan bahwa kebijakan dan metode perlindungan tanaman yang baku dari pemerintah di tahun 1970-an dan 1980-an secara nyata meningkatkan resiko ledakan hama.  Contoh ledakan hama WBC ini adalah ilustrasi, karena secara umum ini juga mengakibatkan ledakan-ledakan hama padi lainnya di daerah tropis.  Insektisida melemahkan sebuah sistem sehingga populasi musuh alami menjadi rendah dan tidak mampu memberikan perlindungan terhadap sistem tersebut.  Kebijakan pemerintah juga gagal memperhitungkan “buffer” lain agar agroekosistem padi terhindar dari kehilangan hasil.  Ini adalah kemampuan tanaman untuk mengkompensasi kehilangan daun dan malai produktif hingga 30 dan 40 hari setelah tanam.  Beberapa varietas unggul dapat bertahan terhadap kehilangan hasil walaupun hilang sekitar 30% dari daun dan batang selama fase vegetatif.  Kemampuan kompensasi dari beberapa varietas unggul ini memungkinkan tanaman bertahan dari serangan hama yang diakibatkan oleh penggerek, penggulung daun dan yang lain. (Way, Heong 1994)  Makalah Way dan Heong pada tahun 1994 berkesimpulan bahwa “Pengendalian Hama Terpadu di padi tropika harus dilandasi prinsip bahwa insektisida tidak diperlukan sehingga insektisida dan ‘hama’ ini perlu secara kritis dikaji ulang dan dibuktikan sebelum penggunaan insektisida dipikirkan.”
Apakah kita bisa belajar dari sejarah penanggulangan hama WBC di tanah air kita sendiri?  Untuk itu kita perlu meninjau sejarah tentang keluarnya INPRES 3/86 dan terselenggaranya Program Nasional PHT dalam kurun waktu 1989-1999.

PHT sebagai Kebijakan Nasional – INPRES 3/86
Setelah bertahun-tahun menjadi negara pengimpor beras terbesar di dunia, Indonesia  berhasil mencapai swa-sembada beras pada tahun 1984.  Atas prestasi ini, Indonesia mendapat pujian dari seluruh dunia serta penghargaan dari FAO.  Perubahan yang menakjubkan ini terjadi karena introduksi pupuk dan varietas unggul yang disebarkan secara luas, pengembangan sistem irigasi, dan adanya kebijakan-kebijakan pendukung yang tepat.
Namun demikian, pencapaian tersebut memiliki kelemahan.  Insektisida berspektrum luas selalu diikutsertakan bersama dengan masukan lainnya.  Insektisida tersebut telah memicu ledakan populasi hama wereng coklat secara luas, sehingga varietas-varietas padi berproduksi tinggi yang dikembangkan oleh Indonesia, seperti Krueng Aceh dan Cisadane menjadi “patah” ketahanannya.  Pada akhir 1985, hampir 70 % produksi padi di pulau Jawa terancam oleh hama tersebut.
Untunglah, penelitian yang dilakukan oleh badan penelitian nasional dan internasional selama tahun 1979 hingga 1986 secara meyakinkan membuktikan bahwa: 1) wereng coklat merupakan hama yang ledakan populasinya disebabkan oleh penggunaan pestisida secara berlebihan, dan 2)  populasi hama tersebut dapat dikendalikan oleh agen pengendali hayati berupa predator/pemangsa yang secara alami ada di lahan sawah.
Pada 5 Nopember 1986 Presiden Soeharto menandatangani Instruksi Presiden Nomor 3 tahun 1986 yang menyatakan bahwa Pengendalian Hama Terpadu menjadi strategi nasional pengendalian hama.  Inpres 3/86 juga melarang 57 jenis insektisida, sebagian besar adalah jenis organofosfat yang sangat beracun, untuk digunakan di tanaman padi, dan memerintahkan diselenggarakannya program pelatihan PHT skala besar kepada petugas lapangan dan petani.
Kebijakan PHT ini diperkuat dengan penghapusan subsidi pestisida dua tahun berikutnya sehingga Pemerintah bisa menghemat $120 juta per tahun.  Selama 10 tahun sebelumnya Pemerintah telah mengeluarkan dana subsidi pestisida sebesar $1,5 milyar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar