Entri Populer

Selasa, 23 Agustus 2011

SEKOLAH LAPANG

Sekolah Lapangan PDF Cetak Surel
Istilah “Sekolah Lapangan” pertama kali digunakan dalam Program Nasional Pengendalian Hama Terpadu (PHT) sebagai sebuah pendekatan yang saat itu terkenal disebut dengan “SLPHT”.  Pendekatan Sekolah Lapangan ini diciptakan dan dikembangkan mulai tahun 1989 oleh petugas Departemen Pertanian yang dilatih menjadi Pemandu Lapangan bekerjasama dengan Tim Bantuan Teknis-FAO[1], dalam rangka Program Nasional PHT.
Sosok Sekolah Lapangan merupakan sebuah “sekolah tanpa dinding”, sehingga ruang kelas sekaligus perpustakaannya, adalah lahan sawah itu sendiri.  Peserta Sekolah Lapangan berkumpul satu kali seminggu selama satu musim (12-14 minggu) untuk mengikuti dan menganalisa perkembangan tanaman mereka, fase demi fase.  Sekaligus mereka mendalami berbagai prinsip yang terkait dengan perkembangan tanaman seperti dinamika populasi serangga, fisiologi  dan kompensasi tanaman, pemeliharaan kesuburan tanah, pengaruh air dan cuaca, pemilihan varietas, dan lain-lain, melalui eksperimen-eksperimen yang mereka lakukan sendiri.  Selain kegiatan pokok, serangkaian kegiatan (topik khusus) dilakukan sesuai dengan masalah-masalah khusus yang dihadapi di setiap tempat.  Yang selalu nampak pada Sekolah Lapangan adalah peran aktif petani sebagai pelaku, peneliti, pemandu, dan manajer lahan yang ahli.  Materi “pengembangan manusia” tidak kalah penting dengan ilmu pertanian dalam penyelenggaraan Sekolah Lapangan, sebagaimana tercermin dalam kegiatan perencanaan, dinamika kelompok dan sebagainya.
Lahirnya pola pendekatan Sekolah Lapangan didasari oleh dua tantangan pokok yang saling terkait, yaitu keanekaragaman ekologi lokal dan peranan petani yang harus menjadi “ahli” di lahannya sendiri.  Dari awal Sekolah Lapangan bukan sekedar metodologi baru, melainkan kembali ke arti “sekolah” yang sebenarnya sebagai suatu tempat bagi peserta secara aktif menguasai dan mempraktekkan proses penciptaan ilmu pengetahuan.  Proses belajar dalam Sekolah Lapangan erat kaitannya dengan pandangan terhadap sifat dasar manusia sebagai mahluk hidup yang aktif dan kreatif yang senantiasa 'haus' akan pengertian tentang arti dan maksud hidup.
Pola Sekolah Lapangan dirancang sedemikan rupa sehingga kesempatan belajar petani terbuka selebar-lebarnya agar para petani berinteraksi dengan realita mereka secara langsung, serta menemukan sendiri ilmu dan prinsip yang terkandung di dalamnya.
Dengan demikian, pola pendidikan Sekolah Lapangan bukan sekedar “belajar dari pengalaman”, melainkan suatu proses sehingga peserta didik yang kesemuanya adalah orang dewasa, dapat menguasai suatu proses “penemuan ilmu” yang dinamis dan dapat diterapkan dalam manajemen lahan pertaniannya maupun dalam kehidupan sehari-hari.  Hal ini penting, karena jaman ini sarat dengan unsur perubahan.  Diharapkan agar proses Sekolah Lapangan dapat menyiapkan petani tangguh yang mampu menghadapi dinamika sekarang dan tantangan masa depan.

Adapun ciri-ciri Sekolah Lapangan secara umum, adalah sebagai berikut:
1.    Sawah sebagai Sarana Belajar Utama Sekolah Lapangan. Ketrampilan budidaya pertanian ekologis-organik dan penganekaragaman tanaman padi adalah ketrampilan terapan.  Oleh karena itu hampir 80% dari waktu keseluruhan digunakan langsung di sawah, bukan di kelas.
2.    Cara Belajar Lewat Pengalaman. Setiap kegiatan dimulai dengan penghayatan atau pengamatan langsung, kemudian pengungkapan pengalaman, pengkajian hasil, dan penyimpulan hasil.  Siklus belajar ini diusahakan dalam setiap kegiatan sekolah lapangan.
3.    Pengkajian Agro-ekosistem. Sekolah lapangan terpola dalam siklus mingguan dimana setiap unsur agro-ekosistem dikaji secara sistematis dan mendalam.  Hal ini berdasarkan pertimbangan bahwa, perubahan keadaan agro-ekosistem sawah cukup berbeda antara minggu yang satu dengan minggu lainnya.  Tiap akhir minggu keadaan agro-ekosistem disusun secara utuh untuk pengkajian dan pengambilan keputusan manajemen lahan minggu berikutnya.  Siklus ini menyerupai prinsip pantauan mingguan yang akan diterapkan di tingkat petani dan membiasakan peserta latihan untuk terus mengikuti perkembangan sawahnya selama satu musim, dari persiapan lahan sampai pasca panen.
4.    Metoda serta Bahan yang Praktis dan Tepat Guna. Setiap kegiatan sekolah lapangan, beserta bahan penunjangnya, dirancang sedemikian rupa agar dapat diterapkan langsung oleh para petani di desa.  Dengan demikian ketrampilan dan pengalaman yang diperoleh peserta akan menjadi bekal yang terkuasai, yang mudah dialihkan ke dalam tugas sehari-hari di tingkat desa.
5.    Kurikulum Berdasarkan Ketrampilan yang Dibutuhkan. Kurikulum dirancang atas dasar analisis ketrampilan lapangan yang perlu dimiliki oleh seorang petani untuk menjadi ahli dalam pertanian ekolgis-organik dan penganekaragaman tanaman padi, agar ia sungguh-sungguh paham dan mampu menerapkannya di lahannya sendiri, serta meneruskannya kepada para petani lainnya.  Selain ketrampilan dan pengetahuan teknis pertanian, peserta memperoleh pula kecakapan dalam perencanaan kegiatan, kerjasama, dinamika kelompok, pengembangan bahan belajar, serta komunikasi, agar ia dapat menjadi fasilitator yang mampu merangsang dan membantu kelompok-kelompok tani secara efektif.( LATANSA TANI YESSS,,,,,,)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar