Entri Populer

Rabu, 17 Agustus 2011

Ngapain jauh-jauh keluar negeri..?

latansa tani....yesss!
“KENAPA HARUS KE LUAR NEGERI KALAU DI DESA SENDIRI BISA MENDAPATKAN PENGHASILAN YANG SAMA…” PDF Cetak Surel
BU NARDEM atau yang oleh teman-temannya dipanggil Adong ini adalah salah satu dari sekian banyak petani perempuan yang berperan aktif di lahan sawahnya di Desa Sliyeg Lor. Desa Sliyeg Lor adalah salah satu desa di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat yang banyak menghasilkan sayuran emes atau gambas. Pada awal kehidupan berrumah tangga, dia dan suaminya, Pak Narpan, tidak mempunyai lahan sawah. Seperti sebagian besar penduduk desa ini yang sebagai buruh tani, Mbak Adong dan suaminya juga hidup sebagai buruh tanam dan buruh panen. Baik di desanya sendiri maupun di desa sekitarnya. Bila saat musim tanam tiba, baik itu tanam padi maupun sayuran, sebagai buruh tanam, Mbak Adong bisa berangkat ke ‘kantor’-nya selepas waktu subuh. Dengan naik sepeda bututnya, Mbak Adong menuju ke desa dimana dia akan melakukan pekerjaan tanam, yang jauhnya bisa mencapai 13 kilometer.

Pekerjaan-pekerjaan pagi hari di rumah seperti membersihkan rumah, memandikan anak, dan belanja keperluan warung makannya dilakukan oleh sang suami. Memang, untuk menopang ekonomi sehari-hari, keluarga Mbak Adong membuka warung mie ayam kecil di depan rumahnya. Suaminya lah yang mempersiapkan warungnya. Terkadang selepas maghrib Mbak Adong baru tiba di rumah. Terbayang betapa lelahnya, bersepeda berangkat, terjun ke sawah menanam, dan bersepeda kembali ke rumah. Sesampai di rumah, Mbak Adong pun tidak segera beristirahat, melainkan ikut serta melayani para pembeli mie ayamnya bersama suami tercinta.

Pada suatu saat, Mbak Adong dan suaminya sepakat untuk menyewa lahan seluas 100 bata atau 1/7 hektar, yang disewanya seharga 6 kuintal gabah per tahun untuk mencoba bertani sendiri. Kalau memakai perhitungan sekarang, 6 kuintal gabah adalah seharga Rp. 1.800.000,-, dengan asumsi harga per kilogram gabah sebesar Rp. 3.000,-. Selain harga sewa tersebut, Mbak Adong juga dikenakan pajak tanah kepada pemerintah dan iuran-iuran lain dari pemerintah desa, salah satunya swadaya masyarakat untuk pembangunan desa, yang masing-masing besarannya berdasarkan kebijakan pemerintah desa setempat. Misalnya, pajak ke pemerintah per bata sebesar Rp. 200,-, sehingga besar pajak tersebut Rp. 20.000,-, sedangkan iuran-iuran ke pemerintah desa sebesar Rp. 100.000,-. Jdi jumlah yang harus dikeluarkan Mbak Adong untuk sewa lahan seluas 100 bata adalah sebesar Rp. 1.920.000,- untuk setahun.

Upaya bertani sendiri inipun dilakukannya dengan sepenuh hati dan didasari dengan perhitungan-perhitungan ekonomis yang matang. Prinsipnya adalah bagaimana lahan sawah kecil yang disewanya bisa ditanami dengan tanaman-tanaman yang bisa menghasilkan terus-menerus sepanjang musim. Makanya dia menerapkan sistem tanam tumpangsari berbagai macam tanaman sayuran. Itu dilakukannya pada saat musim kemarau, dimana di desa ini sayuran ditanam hampir di semua lahan sawah. Ketika musim penghujan, dia juga tetap menerapkan sistem tumpangsari ini ketika lahan sawahnya ditanami padi. Padi memang hanya ditanam pada musim penghujan di desa ini karena tidak adanya irigasi teknis.

Berawal dari sewa lahan dan ditambah usaha kecil warung di rumahnya itulah sekarang ini Mbak Adong dan suaminya bisa hidup layak dan mempunyai penghasilan yang tidak kalah dengan penghasilan para tenaga kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di luar negeri. Dia membandingkan demikian karena banyak warga Desa Sliyeg Lor, khususnya perempuan, yang bekerja di luar negeri sebagai TKI. Dengan penerapan sistem tanam di sawah dan pengelolaan usaha kecil di rumahnya melalui kesepakatan pembagian peran yang imbang antara dia dan suaminya, keluarga dengan dua anak ini sekarang bisa membangun rumah dan memiliki lahan sawah sendiri, walaupun tidak luas, hanya 100 bata atau sepertujuh hektar. Walapun demikian, Mbak Adong hingga saat ini tetap melakukan pekerjaan menanam di lahan orang lain bila musim tanam tiba.

Mbak Adong adalah salah satu petani perempuan yang menjadi peserta Sekolah Lapangan Pemuliaan Tanaman di tahun 2004, yang diselenggarakan oleh FIELD Indonesia. Dari mengikuti sekolah lapangan ini, Mbak Adong mengatakan bahwa pola pikirnya berubah. Dulu pernah terpikirkan untuk ikut-ikutan menjadi TKI karena melihat teman-temannya yang dilihatnya menjadi kaya sepulang dari luar negeri. Kemudian dia tersadar bahwa sesungguhnya tidaklah perlu ke luar negeri kalau di desa sendiri bisa memperoleh penghasilan yang sama. Oleh karenanya, dia bersama suaminya berusaha keras mencoba menerapkan sistem tanam tumpangsari yang bisa menghasilkan panen yang tinggi dan sesering mungkin. Salah satu cara meringankan biaya produksi untuk lahan sawahnya, Mbak Adong memilih memakai benih tanaman dari hasil persilangan dan pemurnian yang dilakukan kelompoknya melalui sekolah lapangan pemuliaan tanaman, yang salah satunya adalah benih Emes Sliyeg.

***

INDRAMAYU: PERTANIAN, PEREMPUAN, dan PEKERJA MIGRAN

Indramayu adalah salah satu kabupaten di daerah pantai utara di Propinsi Jawa Barat, yang terletak lebih kurang 200 kilometer arah timur Jakarta. Kabupaten ini merupakan lumbung padi di Pulau Jawa. Selama setahun padi ditanam 2 kali yaitu pada musim penghujan dan gadu. Sedangkan pada musim kemarau lahan sawah kebanyakan diberakan atau ditanami palawija. Selain padi, Indramayu juga dikenal sebagai penghasil sayuran dan buah. Petani-petani di sini mengenal lebih dari 100 spesies sayuran. Mereka biasanya menanam 10-20 macam sayuran. Biasanya hasil panenannya dijual ke pasar lokal atau ke Jakarta.

Petani perempuan di Indramayu memiliki peran penting dalam kegiatan pertanian disamping kaum laki-lakinya. Mereka menyumbang tenaga kerja dalam banyak kegiatan pertanian, khususnya padi. Mereka biasanya melakukan pekerjaan penanaman, penyiangan, pemupukan, panen, perontokan padi, dan penjemuran. Namun demikian, banyak kaum perempuan dan laki-laki di Indramayu yang pergi merantau pada usia tertentu. Pada umumnya usia mereka antara 15 sampai 45 tahun yang itu merupakan usia produktif dari seseorang. Mereka merantau sebagai tenaga kerja, baik di kota-kota besar di dalam negeri maupun di luar negeri. Di antara laki-laki dan perempuan, yang bekerja di luar negeri sebagian besar adalah perempuan.

Jumlah penduduk dewasa di Desa Sliyeg Lor mencapai 3.000 jiwa. Dari jumlah tersebut, sebanyak 900 sampai 1.000 orang pergi merantau sebagai pekerja migran. Hampir 90%-nya adalah perempuan. Banyak dikatakan bahwa perempuan lebih mudah dalam memperoleh pekerjaan di sektor formal dibandingkan laki-laki. Oleh sebab itulah banyak perempuan yang meninggalkan desanya untuk bekerja, terutama ke luar negeri. Mereka kebanyakan lulusan sekolah dasar dan menengah. Tidak ada satu pun yang selesai kuliah, karena lulusan sarjana lebih memiliki kesempatan untuk bekerja di dalam negeri.

Ada dua alasan mengapa perempuan menjadi pekerja migran atau tenaga kerja di luar negeri. Pertama adalah alasan ekonomi, dimana mereka bekerja untuk meningkatkan penghasilan untuk membiayai kebutuhan hidup keluarganya, menyekolahkan anak-anaknya, untuk memperoleh upah yang besar, dan karena sulitnya mencari pekerjaan di dalam negeri. Yang kedua adalah alasan sosial, dimana biasanya mereka mempunyai masalah dalam berumah tangga (perceraian), terpengaruh oleh tetangga atau temannya yang sudah bekerja di luar negeri, dan mencari pengalaman. Bagi pekerja migran, biasanya karena tidak ada kesempatan bekerja di desanya. Pekerja migran ini ada 3 kategori, yaitu pekerja migran di kota, desa, dan musiman. Di kota perempuan biasanya bekerja sebagai pembantu rumah tangga dan pengasuh anak, sedangkan pada kategori desa perempuan bekerja sebagai buruh tanam dan panen di desa lain. Perempuan jarang sekali sebagai pekerja migran musiman.

Tempat tujuan bekerja ke luar negeri kebanyakan di negara-negara Timur Tengah dan negara-negara tertentu di Asia. Di Timur Tengah, biasanya perempuan bekerja pada sektor domestik (rumah tangga) sebagai pembantu rumah tangga dan pengasuh anak. Sedangkan di negara-negara seperti Korea, Taiwan, dan Malaysia, mereka juga bekerja di sektor industri (pabrik-pabrik). Perempuan yang bekerja di sektor domestik di luar negeri biasanya memperoleh gaji Rp. 1.000.000,- sampai Rp. 2.000.000,- per bulan. Sedangkan yang bekerja di sektor industri memperoleh gaji Rp. 5.000.000,- sampai Rp. 8.000.000,- per bulan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar